Detik berDetak

Ketika baru saja saya masuk di sekolah dasar dan mengenakan seragam putih merah, saya merasa bangga sudah bisa bersekolah. Namun tak lama berselang beberapa tahun saja, rasa bangga itu kian memudar dan timbul  asumsi pemikiran: “sepertinya memakai seragam putih biru lebih keren” dari pada sekedar jadi anak SD yang apa-apa serba gak boleh. Bayangan saya kitika sudah sekolah di tingkat pertaman (red SMP) nanti, akan bisa sekolah di luar kota, punya banyak teman, lebih banyak waktu luang untuk bermain dan bayangan-bayangan ke”indah”an lainnya yang begitu bertumpuk.

Harapan –bisa mengenakan seragam putih biru– pun tercapai juga, meski bukan berada di beda kota hanya berbeda daerah saja; akhirnya saya bisa bersekolah di sebuah sekolah tingkat pertama dan tentunya mengenakan seragam putih biru, banyak teman baru dari berbagai desa dan kecamatan dan punya lebih banyak beban mata pelajaran serta punya banyak guru juga. Beban semakin bertambah, tantangan semakin rumit itu semua berbanding lurus dengan semua kegembiraan dan segala harapan kala masih di sekolah dasar tentnag indah dan asyiknya sekolah di tingkat pertama. Tak berselang begitu lama, kembali saya dapati asusumsi pemikian “Sepertinya sekolah SMA lebih keren, bisa bawa kendaraan sendiri, sudah pakai celana panjang dan lain sebaginya dan lain sebaginya”. Sekolah di tingkat pertama tak sepanjang perjalanan di tingkat dasar yang harus ditempuh enam tahun lamanya, jadi saya pun dengan waktu yang relatif lebih cepat sudah bisa membuktikan asumsi pemikiran baru tersebut. Ya… saya lanjut ke sekolah tingkat atas dengan segala bayangan dan kebanggaan yang ada. Bisa bawa motor sendiri ke sekolah, kemudian teman sudah bertambah banyak, dan bahkan sudah bisa main kelayaban sampai larut malam. Semua itu bisa dan biasa dilakukan ketika sudah menjadi siswa sekolah tingkat atas, tak jarang melawan guru, menjaili dan membuat nangis guru perempuan di kelas pun itu menjadi kesenangan tersendiri *dasar anak nakal….*. Namun lagi-lagi tak banyak berubah, saya tak mampu mempertahankan hal-hal –-kebanggaan– tersebut begitu lama. Terlebih beriringan dengan semakin bertambahnya pengetahuan tentang kehiruk-pikukan dunia perkuliahan yang sering banyak saya dengar dan jumpai di buku dan cerita beberapa teman. Saya pun dengan bangga dan penuh harapan bertekad ingin merasakan bagaimana bebas dan dewasanya seorang mahasiswa. Tidak ada lagi apel setiap Senin pagi, tak ada wajib pramuka setiap jumat sore, tidak ada jam olah raga dan tak ada baju seragam yang kadang bahan kainnya panas dan norak *ha..ha.. toyor kepala*. Begitu manis dan indah bayangan saya akan uporia kehidupan perkuliahan, dan yang jelas bisa fokus mempelajari satu bidang mata pelajaran saja. Kondisi kehidupan yang sangat ideal dan menggiurkan. Begitu tertarik dan penasaranya saya untuk segera bisa merasakan kehidupan masyarakat kampus, sehari setelah UN usai, tanpa berpikir panjang saya pergi berangkat ke satu kota untuk kemudian mencoba cari-cari info tentnag keberadaan Universitas yang menyediakan jurusan bidang studi yang saya impikan. Saya bercita-cita ingin menjadi sarjana psikologi, dan entah alasan apa yang menghantarkan saya pada cita-cita itu. Namun sayang, cinta bertepuk sebelah tangan –- nah baigian ini saya ceritakan lain waktu ya… — Saya bahkan tidak sempat ijin dan memberi tahu orang tua saya tentang perjalanan ke luar kota tersebut, namun setelah satu minggu karena kondisi keuangan kritis, saya pun akhirnya menyerah dan minta bantuan Ayah untuk segera mengirimkan bala bantuannya *he..he..he..*

–Beruntung Ayah dan Ibu tidak negative thinking jadi proposal pencairan dana pun tidak begitu berbelit untuk bisa segera diproses, hanya dengan satu syarat saja; saya harus pulang, maka uang segera dikirim–

Dengan penuh perjuangan untuk meyakinkan orang rumah, akhirnya saya bisa berkuliah di sebuah daerah dengan julukan kota hujan. Meski sedikit kecewa karena tidak mendapati jurusan yang saya idamkan, tapi hidup selalu berkondisi pada memilih atau dipilihkan dan saat itu saya berada pada kondisi yang kedua. Saya dipilihkan oleh Ayah sebuah jurusan bidang studi perkuliahn yang kemudian menghantarkan saya pada kondisi saat ini tentunya. Sudah pasti, bangga, senang, bahagia dan penuh rasa syukur, semua rasa itu bekecamuk dalam diri karena akhirnya bisa juga menapaki kehidupan di dunia perkuliahan yang begitu banyak perbedaanya dengan atmosfir dunia sekolah. Mungkin inilah puncak kejayaan harapan dan pencapaian kehidupan, itu yang tersirat dalam pemikiran saya. Bagaimana tidak, anak kampung dengan minim pengetahuan dan kecerdasan bisa merasakan persaingan dunia perkuliahan di sebuah kota. Mimpipun tak pernah saya bayangkan bisa tinggal, kuliah dan menghabiskan sebahagian hidup disana, namun seketika itu seakan masih dalam hayalan saya sudah terdaftar sebagai seorang mahasiswa di sebuah Universitas Islam yang ada di kota Bogor. Saya pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini untuk hanya sekedar menjadi seorang mahasiswa biasa-biasa saja, saya bertekad harus menjadi mahasiswa yang luar biasa.

Semester demi semester dilalui dengan begitu penuh semangat dan perjuangan, tak pernah meyurutkan niat dan target saya menjadi mahasiswa hebat. Setelah mendapati setengah perjalan barulah ada kejanggalan, ada benih-benih ‘bosan’ dan hambar tertanam dalam pemikiran tentang rutinitas dan perilaku kehidupan perkuliaan. Padahal saat itu saya sudah berstatus tidak hanya mahasiswa biasa, karena aktifitas saya selain kuliah adalah aktif di Organisasi kemahasiswaan kemudian mengajar di sebuah sekolah swasta dan menjadi guru les private – yang terakhir karena tuntutan *he..he..– yang itu cukup membuat otak dan tenaga saya terkuras habis. Tapi sungguh luar biasa kehidupan, masih bisa menyisipkan asumsi pemikiran “Sepertinya saya fokus kerja lebih asyik, gak harus mikirin tugas presentasi dosen, gak perlu pusing cari litelatur untuk referensi sebuah mata kulaih dan yang pasti bisa menghasilkan (berpenghasilan) itu membanggakan”. Empat tahun lebih saya menyelesaikan pendidikan sarjana setrata satu, kemudian tanpa perlu menunggu terlalu lama saya pun mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan ini bukan pekerjaan biasa, melaikan juga pekerjaan yang luar biasa, tak banyak fresh graduated seperti saya yang langsung medapatkan posisi sebagi sorang konsultan pendidikan *yah… sebut merek deh :-D* dan lebih menakjubkan lagi –bagi saya secara pribada– karena kemudian pekerjaan ini menghantarkan saya ke kawasan daerah perbatasan paling timur Indonesia.

Apa yang saya pikirkan saat mendapati pekerjaan ini ? Bangga, ragu, bingung, senang, dan khawatir tidak medapatkan ijin dari orang rumah (red Ayah dan Ibu), semua itu bercampur aduk dan sanggup membuat saya tidak bisa memejamkan mata semalam suntuk. Malam itu saya benar-benar pusing, pening dan gundah gulana (mungkin itu yang namanya galou) *ha..ha..ha..*.

Kondisi seperti itu seketika meruntuhkan asumsi dunia kerja yang saya miliki saat menjadi seorang mahasiswa, karena kemudian ini lah yang terasumsikan: “Mendapatkan pekerjaan tidak semenarik dan tak “sebahagia” yang dibayangkan 😦 “. Lebih banyak beban (tangung jawab) kehidupan yang dijumpai, bertambah berat pula tantangan yang menghadang.

Tidak pernah ada kondisi ideal dalam kehidupan yang sanggup sesuai dan menyerupai khayalan keindahan bayangan individu dalam hidupnya,

Kemudian kondisi kehidupan yang seperti apa lagi yang harus saya bayangkan dan dambakan untuk kemudian diusahakan untuk bisa diraih dan dicapai? Mungkin selanjutnya adalah “Jika saya menikah mungkin akan lebih tentram” atau “mungkin saatnya saya menjadi seorang pengusaha” atau “mungkin lebih menentramkan jika saya kembali melanjutkan studi di jenjang lebih tinggi”. Entahlah…, sepertinya semua itu tidak akan pernah berhenti dan habis untuk kemudian meminta dan mendambakan kondisi-kondisi harapan yang ingin dicapai. Tapi bukankah memang ini lah yang namanya HIDUP? *silahkan jawab masing-masing ya… :-)*

Gambaran perjalanan ini memberikan saya pembelajaran, manusia secara naluriah tidak akan pernah merasa cukup dan puas atas setiap kondisi dan pencapaian dalam hidupnya. Namun kemudian bukan bagaiman dan seperti apa yang diharap dan didambakan kondisi masa depan, melainkan bagaiman dan dengan cara apa kondisi saat ini bisa diraih, sanggup dioptimalkan, mampu menghasilkan karya dan semakin menumbuhkan rasa syukur (terimakasih) serta selalu beupaya dan belajar menerima dengan berlapang dada.

Sehingga saat ini saya hanya mengharapkan setiap kondisi yang akan datang merupakan kondisi yang tepat dan baik, sehingga saya mampu menjalaninya dengan optimal dan menghasilkan pencapaian terbaik untuk kemudian semakin menumbuhkan dan menguatkan rasa syukur saya atas setiap nikmat, karunia dan kasih sayang Sang Maha selama ini.

 

Selamat ber wiken ria Temans 🙂

 

Regards: Sarip Hamid.

 

27 Responses to Detik berDetak

  1. JNYnita says:

    Manusia itu memang suka berandai-andai, padahal yang dikhayalkan belum tentu indah.. setiap jenjang punya cobaannya masing2, dan setelah lewat tetep akan punya cobaan lagi, begitulah hidup.. 🙂

  2. Dunia Ely says:

    Semoga harapannya terwujud ya bro 😛

    fotonya cakep sekali 🙂

  3. Dunia Ely says:

    Btw, tertarik nggak diskusi bareng di Cafe Single ? selasa malam di Dunia Ely ? 🙂

    • duniaely says:

      wadeww .. komentarku sendiri yg belum dibalas 😦

      btw, saya pindah rumah nih ke alamat baru http://duniaely.com … ditunggu kedatangannya ya , thanks 😛

      • sarip2hamid says:

        Aduhhh maafkan saya Mba EL… comments mu butuh moderasi dan gk bisa di access by smartphone 😦
        ini baru bisa klo aku buka di PC.
        wahhh udah .com nihhh… ciamak.. 😀 pasti langsung ke TKP nihh.. 😀

  4. yisha says:

    met menjalani hariiiiiii………..

  5. Ilham says:

    inspiratif pengalamannya. kita sendiri yang membentuk hidup jadi seperti apa ya.

  6. oomguru says:

    waahh.. situ pernah sd juga toh oom?
    saya kira pas lahir langsung SMP.
    hwehehehe (^_^)v

  7. ronal says:

    mirip..waktu SD pengen cepet smp.dah smp pengen cepet sma..dah sma pengen cepet kuliah..dah kuliah pengen cepet kerja..pas kerja capet dan stresss hahaha

  8. Tina Latief says:

    intinya waktu tidak diam, ia selalu membuka jalann baru, lembaran baru, dan kesempatan baru..
    makanya kalau ada yang bilang life is flat itu salah..

  9. Ina says:

    jadi ikutan mengingat pas sekolah dulu. idem mas. waktu mau naik tingkat smp, bayangannya gini gini, sma? bayangan bisa gitu gitu… pun kuliah.
    klo saya, sampe mau lulusan, saya tuh sedih banget, karena lebih suka belajar. masih nggak mau kerja. but life must go on….

  10. rianaadzkya says:

    That’s life… Detik berdetak tik tak tik tak.. 😀

  11. oomguru says:

    dan ketika di bangkus mahasiswa, saya berpikiran bahwa kawin sepertinya lebih keren! 😀

  12. oomguru says:

    memang mendapat kerja itu belum tentu semenarik yang dibayangkan.. tapi kalo mendapat anak bapak kost, sudah pasti menarik.

    #ealaahhh

  13. novsabatini says:

    …dan masa-masa yang sebelumnya hanya bisa dibayangkan dalam angan-angan pun, semuanya kini telah terlewati..

    what’s next??

    aaaaa… terkadang ingin kembali ke masa lalu.. merasakan lagi kenangan-kenangan yang dulu-dulu.. 😥

Tinggalkan Balasan ke Tina Latief Batalkan balasan